Aku gak tahu harus senang apa sedih setelah
melihat ruangan UAS yang tertempel di papan pengumuman depan ruang guru. Cukup
lama aku memandangi kertas berisikan nama-nama itu. Pikiranku melayang entah ke
mana.
“Hei Mel! Lo di
ruang berapa?” Reni menghamburkan lamunanku.
“Ruang 6 nih. Lo di
mana Ren?” Tanyaku sembari tersenyum.
“Wah sama dong! Gue
juga di ruang 6, nanti belajar bareng ya sebelum UAS.” Katanya sembari melihat
daftar ruang UAS.
Aku mengangguk,
lalu mengikuti Reni menuju lab komputer untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Aku dan Reni memang teman sekelas yang cukup dekat, kami sering belajar bersama
apabila mau ulangan.
“Melia, lo kenapa
sih bengong terus dari tadi?” Tanya Reni penasaran.
“Hah? Enggak
kenapa-kenapa kok.” Jawabku sembari tersenyum.
“Yakin?
Jangan-jangan lagi galau nih. Ayo cerita dong sama gue.” Reni selalu bisa
membujukku untuk bercerita padanya.
“Jangan tatap gue
dengan wajah memelas seperti itu. Lo selalu bisa memancing gue untuk cerita ya.
Hahaha…” Kataku dengan menyiptkan mata. “Kita satu ruang UAS sama Fendi.”
Jawabku lagi dengan nada datar.
“Loh? Bagus dong.
Kan lo demen banget liat senyuman dia. Hahaha…” Ledeknya. Aku terdiam sejenak.
Aku gak tahu harus
senang apa sedih. Aku akui, Fendi memiliki senyuman yang mampu menarik
perhatianku, namun aku merasa sedih karena takut tak bisa membatasi perasaanku.
Apalagi saat aku berada di dekatnya.
“Hei! Kok malah
diam?” Reni menepuk pundakku.
“Gue takut punya
perasaan kalo liat dia terus.” Jawabku pelan. “Gue takut sakit hati, karena gue
tau dia hanya menganggap gue sebatas teman.” Jelasku.
“Yaampun Melia, lo
ga boleh berpikir seperti itu. Harusnya lo jadiin dia sebagai penyemangat buat
belajar.” Nasihat Reni membukakan pikiranku.
Tak seharusnya aku
takut, karena Tuhan pasti punya maksud tertentu menempatkan aku satu ruang
dengan Fendi. Aku mengangguk sembari tersenyum, lalu memeluk Reni.
“Ya. Lo bener Ren. Thank’s ya.” (Maria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar